Rabu, 01 Agustus 2012

Puasa Ramadhan dan Loyalitas Keimanan



Dalam QS.Al Baqarah: 183 Allah Swt berfirman:

“Wahai orang- orang yang beriman,
diwajibkan kepada kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu, supaya kamu menjadi orang yang bertakwa".

Puasa di bulan ramadhan adalah kewajiban setiap muslim. Puasa adalah salah satu rukun Islam yang jumlahnya  5. Digolongkannya ibadah ini sebagai salah satu syarat tegaknya keislaman seseorang
menjadi poin penting dalam membangun kecerdasan rohani.

 Puasa yang dalam bahasa arab disebut shiyam atau shaum, mengandung makna menahan
atau mencegah diri melakukan sesuatu dalam rentang waktu tertentu (al-imsaak wal
kaffu `an asy-syai'). Sedangkan puasa dalam istilah syar'i menurut Dr.Wahbah Al
Zuhaily, adalah menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh suami isteri
(jima') serta berbagai hal yang merusaknya atau membatalkannya dari terbitnya
fajar hingga terbenamnya matahari.

Dalam konteks ayat diatas Allah menyeru "Ya ayyuhalladziina Aamanuu"; "Wahai
orang-orang yang beriman".Salah satu sahabat nabi, seorang mufassir terkenal
Abdullah ibnu Mas'ud mengatakan, bahwa apabila suatu ayat dimulai dengan
 panggilan kepada orang yang terpercaya, sebelum sampai ke akhirnya, kita sudah
dapat memastikan bahwa ayat ini akan mengandung perihal yang penting atau suatu
 larangan yang berat. Karena Allah Yang Maha Tahu (Al `Aliim) telah
memperhitungkan bahwa yang bersedia memikul perintah Tuhannya hanya orang -
orang yang beriman. Buya Hamka dalam karyanya tafsir Al Azhar mengatakan bahwa
orang yang merasa dirinya ada benih keimanan bersedia menunggu, apa perintah
yang akan dipikulnya itu. Dan dia akan bersedia merubah kebiasaannya, menahan
nafsunya dan bersedia pula bangun di waktu sahur serta menahan seleranya
membatasi diri melakukan latihan yang agak berat, demi mencapai keridhaan
Tuhannya.

Kata "Kamaa kutiba `alalladziina min qoblikum" ; "Sebagaimana telah
diperintahkan kepada umat-umat sebelum kamu", mengindikasikan bahwa perintah
puasa telah ada sejak dahulu, sebelum diutusnya Muhammad saw dalam risalah
kenabian.

Sebagaimana Nabi Musa a.s pernah berpuasa 40 hari. Begitu pula orang-orang
Yahudi masih tetap melakukan puasa pada hari-hari tertentu, seperti puasa satu
minggu sebagai peringatan hancurnya Jerussalem dan diambilnya kembali. Begitu juga, puasa umat Kristen yang terkenal yaitu Puasa Besar sebelum hari paskah.
Dalam agama Mesir purbakalapun juga ada peraturan puasa, terutama pada kaum
perempuan. Demikian halnya bangsa Romawi sebelum masehipun berpuasa. Begitupun
dahulu, Nabi Zakaria a.s dan Maryam, ibunda nabi Isa a.s berpuasa dari tidak
makan, tidak minum, tidak bersetubuh dan juga tidak berbicara pada rentang waktu
tertentu.

Adapun hikmah dan faedah dari menunaikan ibadah puasa adalah menciptakan
kepribadian yang bersendikan taqwa ("la'allakum tattaquun"). Takwa yang
dihasilkan dari menahan dua syahwat yang sangat berpengaruh dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu syahwat faraj atau sex, dan syahwat perut. Seandainya
keduanya tiada terkendali, maka tidak mustahil kemanusiaan (humanity) dari
manusia akan merosot, runtuh, dan hancur bertukar menjadi kebinatangan. Dalam
hal ini, puasa memberikan kendali bagi manusia dalam meningkatkan harga dirinya.
Tiada yang berarti dari nilai puasa itu selain dari kesabaran yang tinggi,

sebagaimana rasulullah saw bersabda: "Ash- shiyamu nishfu shabr";"Puasa adalah
separuh dari kesabaran" (HR.Ibnu Majah).

Ramadhan adalah bulan penuh hikmah, bertabur berkah , bersemi didalamnya suasana
hari bernuansakan keindahan, kesejukan dan kedamaian yang tiada terkira
keutamaannya dibandingkan dua belas bulan lainnya. Bulan yang penuh dengan
kenangan-kenangan bersejarah. Diturunkannya al Qur'an sebagai kitab suci
petunjuk bagi ummat manusia, diutusnya seorang Muhammad saw, manusia suci yang
sarat kesempurnaan, sebagai nabi dan rasulNya. Terjadinya kemenangan terbesar
umat islam dalam sejarah peperangan pada medan badar. Dimuliakannya satu malam
Qodar, yang memiliki keutamaan berlimpah pahala, yang mana nilai ibadah pada
malam itu sebanding dengan ibadah dalam seribu bulan. Semua peristiwa itu
terjadi dalam bulan yang sama, yaitu bulan suci ramadhan.


Allah swt telah memilih bulan ini sebagai bulan puasa. "Ayyaaman ma'duudaat",
yaitu puasa pada hari-hari yang terbilang. Bulan yang membimbing hamba-hambaNya
larut dalam ketekunan beribadah, menahan diri dari kenikmatan makan, kesegaran
air minum pengentas dahaga, serta kepuasan berjima' suami dan istri pada siang
hari. Ada dimensi kedisiplinan, ada pula aspek ketaatan. Tiada hal yang dapat
menjamin utuhnya ketaatan dan kedisiplinan itu, selain berpangkal dari niat ,
ikhlas dan sabar yang tak lekang dengan bertumpu pada loyalitas keimanan.(God as
a single purpose).

Maka dari itu, bersamaan dengan hadirnya kembali bulan ramadhan ini, mari kita
mulai luruskan tujuan, kita pertahankan nilai suci dari ibadah dengan memurnikan
niat semata karena Allah `Azza wa Jalla, untuk kemudian kita raih bersama
predikat takwa. Yakni takwa dalam koridor makna sebenar-benarnya takwa, yang
tidak hanya tersekat dalam ruang dan waktu yang bernama ramadhan, namun
berlanjut seterusnya selepas bulan ini berlalu. Memulai suatu kebaikan adalah
mudah, namun menjaganya dalam kontinuitas dan istiqomah (konsistensi)
membutuhkan niat ikhlas dan kesabaran. Tulus dan ikhlas adalah awal dari
kebaikan, sedangkan kesabaran akan terus mengiringi berjalannya kebaikan itu.



sumber


0 komentar:

Posting Komentar